Pendahuluan
Sering kita menghadapi kebingungan setiap memasuki awal dan akhir Romadhon. Banyak sekali informasi di sekeliling kita yang menyebutkan tentang awal dan akhir Romadhon. Bagaimana menghadapi hal tersebut ?
Tulisan ini dibuat untuk membuka cakrawala pengetahuan kita tentang pendapat-pendapat Islami seputar awal Ramadhan dan Idul Fitri dan menentukan sikap, pendapat mana yang diambil, dan agar bersikap bijak dan toleran terhadap pendapat Islami lain yang diambil oleh sebagian kaum muslim.
Memahami Perbedaan Pendapat
Akal adalah kemampuan berfikir dalam mengaitkan fakta yang terindra dengan ma’lumat sebelumnya di dalam otak.
Karena itulah akal manusia sangat terbatas, namun bukan berarti akal manusia tidak mampu sama sekali untuk menguak kebenaran.
Pendapat manusia bisa berbeda-beda. Hal itu bisa disebabkan faktor internal dan eksternal. Penyebab perbedaan pendapat dapat difahami dalam diagram berikut :
Perbedaan Pendapat dalam Islam
Perbedaan pendapat di dalam masalah agama tidak semua dibolehkan dan juga tidak semua dilarang. Kita harus menganalisa faktor penyebab perbedaan pendapat tadi.
Bila penyebabnya adalah faktor-faktor internal manusia, maka kita harus berusaha untuk terus menyempurnakan daya berfikir kita dengan mengoptimalkan kerja otak, indra dan mengumpulkan banyak maklumat.
Sementara bila penyebabnya adalah faktor eksternal yakni : memang dalil-dalilnya datang secara samar dan memungkinkan mempunyai makna lebih dari satu, hal itu memungkinkan menyebabkan perbedaan pendapat.
Jadi, pendapat islami adalah pendapat yang menjelaskan sesuatu tentang hukum syara’ berdasarkan dalil yang dzon (masih mengandung dugaan) baik dari Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ Shahabat, Qiyas yang Syar’i maupun atau syubhatud dalil (yang diduga sebagai dalil).
Jadi pendapat islami memungkinkan lebih dari satu.
Perbedaan dalam hal-hal yang qath’i (pasti) tidak diperbolehkan, sementara dalam hal dzonny (masih mengandung dugaan) hal itu memungkinkan, namun kita dituntut untuk tetap mencari pendapat yang mempunyai rujukan dalil yang terkuat.
Dalil yang kuat adalah penjelasan yang memuaskan akal tentang penjelasan fakta, penjelasan dalil (nash) dan penjelasan hubungan keduanya.
Hal-hal Yang Sepakat seputar Awal Ramadhan dan Idul Fitri
Seluruh kaum muslim dalam perkara ini benar-benar sepakat dan sama dikarenakan dalil-dalil yang mendasari kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan adalah qath’i/pasti baik di dalam Al Qur’an maupun hadist mutawatir.
[quote align=”center” color=”#999999″]Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al Baqarah : 183)
[/quote]
[quote align=”center” color=”#999999″](Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, (QS. Al Baqarah : 185)[/quote]
Setiap orang yang beriman pada Allah dan Al Qur’an pasti sepakat tentang wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan. Karena hal ini adalah bersumber dari dalil yang meyakinkan.
Ramadhan dan Syawal adalah 2 nama di antara nama-nama bulan Arab yang mempergunakan sistem penanggalan Lunar/Qomariyah. Hal ini juga sesuatu yang pasti dan faktanya tidak menyebabkan berbeda pendapat.
Bulan baru sistem Qomariyah ditandai adanya hilal. Hilal terbentuk beberapa saat setelah bulan mati/konjungsi (ijtima’). Jadi, hilal adalah bulan sabit pertama awal bulan qomariyah yang tampak dari permukaan bumi beberapa saat setelah maghrib. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan, dan tidak mungkin secara ilmiyah hal ini berbeda pendapat.
Hal-hal yang Ikhtilaf (Berbeda Pendapat)
Selain hal-hal yang sepakat di atas, ternyata untuk cabang dari perkara di atas kaum muslimin berbeda pendapat. Yakni :
Setidaknya bila kita teliti perbedaan tentang metode pengambilan keputusan itu ada beberapa pendapat :
a. Berdasarkan methode/cara menentukan terlihatnya hilal
b. Berdasarkan pengguna khabar artinya “Siapa yang wajib berpuasa saat terlihat hilal di suatu tempat”
Pendapat yang lebih rajih (kuat) tentang cara menentukan terlihatnya hilal
Banyak sekali hadist Nabi Muhammad SAW. tentang hal ini. Di antara sabda beliau :
[quote align=”center” color=”#999999″] “Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda awal bulan. Jika kalian melihatnya (bulan sabit Ramadlan) berpusalah. Dan jika kalian melihatnya ( bulan sabit Syawal) berbukalah. Apabila penglihatanmu terhalang, maka genapkanlah hitungannya menjadi 30 hari. Ketahuilah, setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari’ (HR. Al Hakim, lihat Al Mustadrak, Jilid 1, hal. 423).[/quote]
Al Hakim yang dibenarkan oleh Adz Dzahabi menyatakan bahwa hadist ini shahih dari segi sanad berdasarkan kriteria Bukhari Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkannya.
[quote align=”center” color=”#999999″] “Berpuasalah kalian jika melihat hilal (Ramadlan) dan berbukalah (lebaran) bila melihat hilal (Syawal). Jadikanlah rukyat sebagai dasar penentuan waktu-waktu manasik haji. Dan jika langit mendung maka genapkanlah 30 hari’ (HR. Ahmad, lihat Nailul Authar, Jilid IV, hal. 212).[/quote]
Dari hadist-hadist di atas maka kita diperintahkan untuk melihat, bukan menghitung (meng-hisab). Perintah tersebut didapat dari makna teks “Shumuu li rukyati-hi…”, jadi ada dua tuntutan yakni berpuasa dan melihat hilal.
Jadi, pendapat yang lebih kuat tentang cara menentukan awal Ramadhan adalah dengan melihat hilal (ru’yatul hilal) bukan dengan hisab (baik hisab hilal maupun dengan perhitungan kalender) atau dengan melihat pasang air laut.
Rukyat hilal Ramadhan dilakukan pada malam tanggal 29 menjelang tanggal 30 Sya’ban. Sedangkan rukyat hilal Syawal dilakukan pada tanggal 29 menjelang 30 Ramadhan.
Bisakah hisab menggantikan rukyat?
Adapun beberapa ulama’ yang menyebutkan penggunaan hisab sebagai penentu awal dan akhir Ramadhan adalah dengan alasan :
Pendapat ini adalah pendapat yang lemah karena :
Hisab boleh digunakan untuk membantu rukyat
Kedudukan hisab adalah untuk membantu rukyat sehingga kita mempunyai ancar-ancar di mana kita bisa melihat hilal, kapan kita melihat hilal dan pada posisi langit sebelah mana kita melihat hilal. Namun hisab bukan penentu. Tetap penentunya adalah rukyat.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) tentang “Siapa yang wajib berpuasa saat ada khabar hilal”
Terdapat perbedaan pendapat seputar siapa yang menggunakan hasil rukyat seseorang. Setidaknya ada beberapa pendapat, di antaranya :
Dalil ini ditunjukkan oleh dalil-dalil umum tentang perintah puasa tanpa adanya batasan wilayah. Inilah pendapat yang terkuat.
‘Ikrimah meriwayatkan hadist dari Ibnu ‘Abbas yang menyatakan bahwa terdapat seorang baduwi datang ketempat Rasulullah saw. Lalu, ia berkata, “Sungguh aku melihat hilal Ramadlan” Kemudian Nabi bertanya : “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada illah selain Allah?” Ia menjawab : Ya. Lalu Nabi saw.bertanya lagi,” Apakah engkau bersaksi Muhammad itu utusan Allah?” Ia menjawab : Ya. Kemudian, Nabi Menyuruh Bilal: “Hai Bilal, beritahukanlah kepada manusia, supaya mereka besok berpuasa.” (HR. Imam yang lima, kecuali Ahmad). Selain itu, Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadist yang senada (Lihat:Naitul Authar, tentang kitabush Shiyam, no.2094-2099).
Imam yang berpendapat seperti ini adalah : Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Syaukani.
Pendapat ini menyatakan bahwa “Bila salah seorang berhasil melihat hilal maka berpuasalah orang-orang dalam radius 1 mathla’ (radius 120 km) dan daerah lain wajib mengikuti rukyat di daerah lain”
Dalil ini berdasar atas hadist Ibnu Abbas. Selengkapnya:
Dari Kuraib, sesungguhnya Ummul Fadhl pernah mengutusnya ke Mu’awiyyah di Syam. Berkata Kuraib, “Saya ke Syam dan kuselesaikan urusannya (Ummu Fadhl) dan saat itulah Ramadhan tiba dan saya masih di Syam. Maka saya melihat hilal di malam Jum’at. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas menanyaiku dan menyinggung tentang hilal (Ramadhan). Dia berkata, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku jawab, ‘Kami melihatnya malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Engkau melihatnya sendiri?’. Saya menjawab, ‘Ya, orang-orang juga melihatnya, lalu Mu’awiyah berpuasa demikian juga orang-orang.’ Kemudian Ibnu Abbas berkata, ‘Tapi kami melihatnya di malam Sabtu dan kami menggenapkan Sya’ban sampai 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Aku bertanya, ‘Tidakkah cukup dengan penglihatan dan puasanya Mu’awiyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, begitulah Rosulullah memerintahkan kami’” (HR. Jama’ah kecuali Al Bukhari dan Ibnu Majah dalam Nailul Authar). Namun hadist tersebut hanyalah pendapat Ibnu Abbas, bukan sabda Rosulullah saw.
Maksudnya : Kuraib puasa mengikuti rukyat Muawiyah di Syam yakni mulai Jumat, sedangkan Ibnu Abbas memakai rukyat penduduk Madinah yakni puasa mulai Sabtu. Pendapat Ibnu Abbas diprotes oleh Kuraib, harusnya Ibnu Abbas mencukupkan diri dengan mengikuti Muawiyah yang lebih dahulu melihat hilal.
Dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan periwayatan dengan panca indera lebih diunggulkan dibanding periwayatan dengan penyimpulan karena di dalamnya mengandung persepsi. Maka pendapat ini tidak lebih kuat dibanding pendapat pertama.
Imam yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i. Pendapat ini banyak ditinggalkan kaum muslim karena cenderung menimbulkan perbedaan tajam karena jarak 120 km bukan jarak yang jauh untuk sebuah informasi. Masyarakat Indonesia sendiri yang mengaku mengikuti Imam Syafi’i, untuk masalah ini tidak mengikuti beliau.
Pendapat ini mengatakan bahwa “Bila salah seorang berhasil melihat hilal maka keesokan harinya hanya seluruh kaum muslimin di wilayah dalam satu administrasi negara berpuasa dan daerah lain mengikuti rukyat negara masing-masing”
Pendapat ini bukanlah pendapat populer saat adanya Daulah Khilafah karena saat itu seluruh kaum muslimin tinggal dalam 1 wilayah negara. Pendapat ini muncul saat kaum muslimin terpecah dalam wilayah negara bangsa yang beraneka ragam dan tidak adanya kemauan kaum muslimin untuk bersatu. Negara-negara yang mengaku menganut pendapat seperti ini pun seolah juga tidak konsisten. Terbukti dengan adanya kesepakatan-kesepakatan regional penetapan awal akhir Ramadhan. Hal ini terjadi karena karena kesulitan saat terjadi perbedaan antar negara. Coba bayangkan, pergi ke luar negeri dengan pesawat cukup hitungan jam bahkan untuk daerah perbatasan dalam hitungan menit. Gara-gara wilayatul hukmi, penumpang akan turun di tempat yang sudah masuk Romadhon atau sebaliknya.
Pendapat ini diqiyaskan dengan pendapat yang mengatakan bahwa yang harus mengumumkan awal puasa dan ‘Idul Fithri adalah khalifah. Karena khalifah sekarang belum ada lagi maka dipersamakan dengan pemerintah. Padahal faktanya berbeda. Khalifah adalah kepemimpinan umum kaum muslimin. Sehingga khalifah mengumumkan setelah ada laporan rukyat hilal kaum muslimin dari mana saja.
Kondisi wilayatul hukmi mengandung keanehan secara fiqih. Yakni : bila kaum muslimin Papua belum melihat hilal, mau menunggu kaum muslim Sumatera dan berpuasa bersama-sama, mengapa kaum muslim di Indonesia tergesa-gesa memutuskan bila belum melihat hilal tanpa menunggu khabar kaum muslimin di wilayah barat seperti India, Pakistan, Arab Saudi, dsb padahal jarak waktunya tidak lebih dari setengah hari? Itu tidak lain hanya karena sentimen kebangsaan dan kedaerahan yang tidak pernah diajarkan oleh junjungan kita saw.
Pendapat yang mana yang dipergunakan Pemerintah Indonesia?
Sebetulnya Pemerintah Indonesia tidak mentabani/mengadopsi/mengambil satupun pendapat di atas. Yang dilakukan adalah mempertemukan para ulama’ dan berusaha mencari jalan keluar yang bisa diterima semua pihak. Namun ada kesan bahwa Pemerintah akan mempertahankan awal puasa dan idul Fitri sesuai dengan kalender karena tidak akan menimbulkan kekacauan (menurut analisa Pemerintah), sehingga terkadang Pemerintah sama dengan hasil rukyat terkadang hisab bahkan pernah tidak sesuai dengan keduanya.
Hanya saja beberapa tahun belakangan ini, pemerintah senantiasa mengumumkan bahwa telah menetapkan Ramadlan / Syawal namun kalaupun ada beberapa organisasi maupun ulama yang berbeda pendapat maka pemerintah mempersilahkan.
Mana yang kita ikuti?
Tentu kita mengikuti pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil yang kuat yakni mengawali Ramadhan dengan menunggu khabar rukyat hilal dan berlaku secara global (sedunia).
Jangan sampai kita tidak puasa di hari di mana kita tahu harusnya berpuasa. Termasuk jangan sampai kita berpuasa di hari raya hanya gara-gara merasa malu dan takut dianggap berbeda bahkan sesat. Tuduhan semacam itu wajar terjadi di tengah masyarakat yang awam terhadap pemikiran-pemikiran Islam.
Mengetahui kapan Ramadlan tiba sangat urgen. Karena Rasulullah saw. menyatakan :
[quote align=”center” color=”#999999″]“Jangan kamu sekalian berpuasa sebelum datang bulan Ramadlan, berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah (berharirayalah) karena melihat bulan. Dan bila terhalang oleh awan maka sempurnakanlah sampai 30 hari” (HR.At-Turmudzi).[/quote]
Juga sabda Beliau saw. :
Bersumber dari Abu Sa’id dari Rasulullah saw sesungguhnya beliau melarang berpuasa dua hari; yakni pada hari raya fithri dan adha. (HR. Al Bukhari dan Muslim). Dalam satu lafadz oleh mereka (dikatakan): “Tidak boleh berpuasa pada dua hari”. Dan oleh Imam Muslim : “Tidak sah berpuasa pada dua hari itu.” (Yakni di hari Idul Fitri dan Idul Adha).
Menunggu keputusan pemerintah hanya diperintahkan oleh hukum syara’ bila pemerintahannya adalah Daulah Khilafah (pemerintah Islam). Apalagi pemerintah Indonesia mempersilahkan untuk berbeda pendapat dalam masalah awal dan akhir Ramadhan ini. Jadi, berbeda dengan pemerintah bukan suatu kemungkaran/kesesatan dan tidak melanggar undang-undang Negara Republik Indonesia.
Mengapa Sulit untuk Kompak (Seluruh Dunia Berpuasa dan Idul Fithri di hari yang sama)?
Dewasa ini teknologi sudah demikian maju sehingga kita bisa saling bertukar informasi tentang rukyat dalam hitungan detik. Siaran langsung sepak bola saja bisa, tapi siaran langsung terlihatnya hilal mengapa tidak bisa ?
Setidaknya ada beberapa sebab :
Tsiqah/Percaya Begitu Saja
Tidak semua orang memahami fakta tentang hilal, juga tidak semua orang faham tentang dalil-dalil tentang hilal. maka bagaimana menyikapi hal ini?
Seorang sahabat saya sering berucap, “Yah, kita tsiqoh/percaya saja dengan ustadz kita saja, mereka kan lebih tahu…” Benarkah?
Seorang muslim wajib ain mengetahui hukum-hukum syara’. Namun ada kalanya seorang muslim faham tentang dalil adakalanya tidak.
Seorang muqallid (pengikut ulama’) memilih pendapat karena dua hal :
a. Pendapat yang dipilihnya dalilnya lebih kuat. Maka yang bersangkutan wajib mengikuti pendapat ini
b. Pendapat yang dipilihnya dikeluarkan oleh mujtahid yang diketahui ilmu dan ketinggian ketaqwaannya. Tsiqoh semacam ini boleh menyebabkan pindah pendapat tapi tidak wajib
Jadi bila kita tidak mengetahui dalilnya dan masih berusaha memahami dalil-dalilnya maka untuk sementara waktu dia boleh memilih pendapat mujtahid/ulama yang dipercayai ilmu dan ketaqwaannya.
Namun dia tetap harus berusaha memahami pendapat mana yang lebih kuat. Setelah dia telah mendapati pendapat yang lebih kuat, dia HARUS pindah pendapat kepada pendapat yang kuat, tidak boleh sekedar TSIQAH/percaya begitu saja.
Contoh : saat kecil kita tahu kewajiban sholat. Cara sholatnya, karena masih kecil dan belum banyak mengetahui dalil maka sementara waktu kita boleh mengikuti orang yang kita percayai punya ilmu dan ketaqwaan yang lebih. Namun, kita harus sambil berusaha memahami dalil-dalilnya. Setelah kita tahu cara yang diajarkan salah dan dalilnya lemah, maka kita HARUS berganti pendapat, dan memakai pendapat baru yang lebih kuat dalilnya.
Tetap Toleransi dan Menghargai Perbedaan Pendapat
Namun sekali lagi, kita tahu bahwa bagaimanapun perbedaan kaum musimin, selama dalam koridor yang Islami tetaplah harus saling menghormati. Apakah yang memakai hisab, rukyat, Muhammadiyah, Persis, NU, PKS, HTI atau banyak yang lainnya tidak boleh saling menganggap sesat hanya gara-gara masalah ini Diskusi untuk membicarakan pendapat yang terkuat harus tetap berjalan tapi dengan semangat persaudaraan bukan permusuhan. Oleh karena itu, apapun pendapat yang Anda pilih, kami tetap mengucapkan :
MARHABAN YA RAMADHAN, SELAMAT MENJALANKAN IBADAH RAMADHAN 1434 H. SEMOGA PUASA KITA TAHUN INI JAUH LEBIH BAIK DARI TAHUN SEBELUMNYA.
Wallahu a’lam bish Shawab.
Wendy Asswan Cahyadi, S.TP.
Hubungi Kami